Recent Posts

.img400{width:340px;height:250px;}.img400 img{width:340px;height:250px;border:0;z-index:80;}.cursor{cursor:pointer;}.h250{height:250px;}.min250{margin-top:-250px;}.des_4{background:#000;padding:3px 8px;filter:alpha(opacity=80);-moz-opacity:.80;opacity:.80;width:60px;color:#F60;margin-bottom:2px;z-index:990;}.des_1{background:#000;height:57px;padding:3px 10px 0 10px;filter:alpha(opacity=75);-moz-opacity:.75;opacity:.75;z-index:990;}.des_1a{background:#000;height:50px;padding:10px 10px 0 10px;filter:alpha(opacity=75);-moz-opacity:.75;opacity:.75;margin-top:-60px;}.font16{font-size:13px;}.font16{font-size:14px;}.c_white{color:#FFF;}.c_white a{text-decoration:none;color:#FFF;}.c_white a:hover{text-decoration:underline;}.page_hl a{font:bold 12px arial;color:#FFF;text-decoration:none;padding:2px 5px;display:inline;background:#000;filter:alpha(opacity=60);-moz-opacity:.60;opacity:.60;}.page_hl a:hover,.page_hl a.selected{color:#FFF;text-decoration:none;background:#000;filter:alpha(opacity=95);-moz-opacity:.95;opacity:.95;}.page_hl span a{color:#FFF;text-decoration:none;background:#F30;filter:alpha(opacity=90);-moz-opacity:.90;opacity:.90;}.pd_5{padding:5px;}.clearit{clear:both;margin:0;padding:0;}.pb_10{padding-bottom:10px;}

Selasa, 10 Mei 2011

Jamu yang Dicampur Obat Kimia


Kita mungkin pernah mendengar tentang adanya senyawa kimia (dari obat kimia) yang dicampurkan ke dalam jamu. Hal ini dapat membahayakan ginjal karena dikhawatirkan terjadi reaksi antara jamu dan obat sintetis yang -ternyata- saling bertolak belakang. Bisa-bisa terjadi reaksi komplikasi.

Cara Kerja Jamu

Menurut Prof. Dr. Sumali Wiryowidagdo, Apt., Guru Besar Departemen Farmasi UI (seperti dikutip dari Majalah Nirmala, 2008), masyarakat sering tertipu dengan "kemanjuran" jamu oplosan karena kurang memahami cara kerja jamu.

Cara kerja obat kimia adalah menekan gejala dan langsung membunuh sumber penyakit (bakteri, virus, jamur, dll). Sementara cara kerja jamu adalah merangsang dan memberdayakan sistem pertahanan tubuh. Hal ini membuat terapi dengan jamu membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan obat kimia.
Sebagai contoh; pada saat kita demam karena flu. Jika menggunakan obat kimia, obat akan bekerja secara langsung menurunkan demam di hipotalamus otak. Sedangkan jamu akan membangun sistem imunitas tubuh untuk melawan infeksi sehingga demam menjadi turun. Beberapa jamu mengandung herba yang memiliki senyawa aktif berkhasiat tertentu. Senyawa aktif tersebut bekerja mirip obat kimia, seperti mengatasi peradangan (antiinflamasi), melancarkan air seni (diuretik), menghilangkan rasa sakit (analgesik), dan membunuh bakteri (antibakteri). Bedanya, reaksi jamu dalam meredam gejala mungkin tidak sekuat obat kimia, sehingga memerlukan waktu lebih lama dan harus dikonsumsi dengan dosis tertentu.

Penggolongan Jamu

Jamu dapat digolongkan menjadi 3 kelompok berdasarkan status pengujiannya.
1. Jamu

Inilah jamu tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Dipasaran, biasa dijumpai dalam bentuk herba kering siap seduh atau rebus, juga dalam bentuk segar rebusan (jamu godhog) sebagaimana dijajakan para penjual jamu gendong. Demi alasan kepraktisan, kini jamu juga diproduksi dalam kapsul dan dalam bentuk pil siap minum. Pada umumnya, jamu dalam kelompok ini diracik berdasarkan resep peninggalan leluhur, dan belum diteliti secara ilmiah. Khasiat dan keamanannya dikenal secara empiris (berdasarkan pengalaman turun temurun).
2. Herba terstandar
Sedikit berbeda dengan jamu, herba terstandar umumnya sudah mengalami pemrosesan, misalnya berupa ekstrak dalam kapsul. Herba yang diekstrak tersebut sudah diteliti khasiat dan keamanannya melalui uji pra-klinis (terhadap hewan) di laboratorium. Disebut herba terstandar, karena dalam proses pengujiannya telah diterapkan standar kandungan bahan, proses pembuatan ekstrak, higienitas, serta uji toksisitas (untuk mengetahui ada tidaknya kandungan racun dalam herba tersebut).
3. Fitofarmaka
Fitofarmaka merupakan jamu dengan 'kasta' tertinggi karena khasiat, keamanan, bahan baku serta proses pembuatan telah diuji secara klinis pada manusia. Karena telah terbukti secara klinis itulah, jamu berstatus fitofarmaka dijual di apotek dan sering diresepkan dokter (Nirmala, 2008).

Jika dilihat dari kelompoknya, jamu yang dicampur bahan kimia pada umumnya berasal dari kelompok yang pertama, sebab jamu-jamu tersebut sebagian besar diproduksi secara industri rumah tangga. Dengan begitu, pengawasan dari sisi higienitas, standar bahan, dan keamanannya masih kurang sehingga memungkinkan terjadi kecurangan. Selain itu, jamu tersebut diproduksi dalam skala kecil dan dipasarkan dalam lingkup terbatas. Jamu juga tidak diwajibkan untuk memiliki izin atau nomor pendaftaran. Pada skala tertentu, barulah produsen jamu wajib mendaftarkan diri pada Dinas Kesehatan setempat atau terdaftar pada Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) yang saat ini harus menyertakan Apoteker dalam proses pengawasan produksinya. Sementara jamu yang dipasarkan secara luas, harus terdaftar pada Dinas Kesehatan dan memiliki izin dari BPOM.

Jadi, bersikap kritis dan tetap waspada terhadap peredaran jamu dipasaran merupakan sikap terbaik bagi para penggemar dan pengguna jamu. Bijak dalam memilih dan menggunakan jamu; asalkan pengolahan dalam pembuatan jamu dan mengkonsumsinya dengan benar, mau warnanya hitam dan rasanya pahit sekalipun, asalkan disertai gaya hidup sehat (misal minum air putih), maka jamu aman digunakan. Let’s back to the nature!!

Sumber: Another Original Article by Bune.

0 comments:

Posting Komentar